26 November 2010

Aku Ingin...

Aku ingin waktu kembali ke masa lalu..

Saat awal ku mengenalmu..
Aku ingin perbaiki semua waktu yang terbuang sia-sia..
Yang kita lewatkan dengan percuma..

Aku ingin setiap detik dari hari-hari itu kita lalui seperti hari-hari kini…
Saling mengerti, saling setia, saling menjaga dan saling mengingatkan…
Aku ingin kau menjadi dirimu yang sekarang tapi di masa lalu
Aku ingin menjadi diriku yang sekarang juga di masa lalu..
Masa lalu yang cukup panjang kita lalui bersama..

Masa lalu sebelum semua yang terjadi pada kita saat ini…
Aku tak ingin melalui kerikil tajam, gelombang pasang dan semua badai ini
untuk sampai ke masa kini
Aku tak ingin melalui semua itu…

Walaupun mungkin semua itu yang mengantarkan kita ada disini, kita di masa kini..
Aku ingin melewati masa kini bersamamu bahkan hingga waktu tak terhingga..
Aku mohon Tuhan beri aku kesempatan untuk menyayangi mu sampai batas waktu tak terhingga..

My Mind is Somewhere Else…

Here I am…
Sitting in front of my desk. Looking at my notebook.
Just me. And my mind...

Every body around me is talking and laughing
There’s something funny they’re talking about.

I just smile … don’t know what supposed to do
coz my mind is not really there.

I’m here... but my mind is somewhere else…

19 November 2010

Pahlawan Ditengah Bencana

Indonesia adalah negara rawan bencana. Mengapa? Indonesia dikepung tiga lempeng tektonik dunia juga dilewati jalur The Pasific Ring of Fire (Cincin Api Pasifik), yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Indonesia memiliki titik gempa terbanyak di seluruh dunia.

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia tentu kita merasa sedih dan prihatin dengan banyaknya bencana yg sering terjadi di tanah air tercinta Indonesia, Setelah diterjang gempa dan tsunami dahsyat di Aceh tahun 2004, kita masih bertubi-tubi dilanda gempa, gunung meletus, banjir, dan tanah longsor. Akhir tahun 2010 ini kita diuji dengan berbagai bencana secara beruntun. Setelah banjir yang menelan banyak korban di Wasior, kembali bencana gempa dan tsunami terjadi di Mentawai diikuti meletusnya gunung Merapi

Saya selalu kagum dgn teman-teman yang dengan sigap menggalang dana untuk korban bencana. Rasa prihatin mereka tidak hanya terhenti sebatas prihatin dan sedih saja, tapi juga menggerakkan mereka untuk melakukan sesuatu, mengumpulkan dana, makanan, pakaian, obat-obat2an, susu, biskuit dan lain-lain. 

Dengan sigap mereka menginformasikan nomor rekening utk penggalangan dana, menyediakan basecamp untuk pengumpulan pakaian dan barang-barang, menginformasikan contact person yang bisa dihubungi dll. Sungguh saya kagum saya dengan mereka, mereka tidak hanya menunggu pemerintah turun tangan, tapi dengan kesadaran penuh mereka lakukan apa yang bisa mereka lakukan. Ya, untuk apa kita menyalahkan pemerintah sedangkan kita sendiri tidak melakukan apa-apa. Apa karena kita merasa itu bukan tugas kita? Atau karena kita mengganggap itu sudah menjadi tugas pemerintah dan lembaga terkait saja? Miris kadang-kadang mendengar beberapa komentar sinis yang bernada negatif.

Selain mereka yang sigap mengumpulkan dana dan keperluan untuk korban, banyak juga yang membantu dengan cara terjun langsung ke daerah bencana. Padahal kondisi dan situasi di tempat bencana masih sangat rawan dan berbahaya. Tapi ada banyak relawan yang bersedia mempertaruhkan nyawa untuk melakukan itu semua. Mereka datang dari bermacam kalangan. Ada yg berasal dari masyarakat sekitar, ada yang dari team SAR, POLRI, TNI, bahkan ada yg khusus datang dari jauh utk memberikan bantuan baik dari instansi pemerintah maupun swasta. Perjuangan mereka tidak mudah. Memberikan bantuan kepada korban bencana mungkin adalah tindakan menantang maut.

Masih ingat beberapa relawan yg nyaris tewas setelah kapal mereka tenggelam di dekat kepulauan Mentawai? Mereka berencana membantu korban gempa dan tsunami Mentawai yg tidak mendapat fasilitas listrik. Ada lagi belasan relawan Merapi yang nyaris diterjang lahar panas, mereka sedang berusaha membantu evakuasi warga kota Selo untuk turun ke bawah. Sementara itu seorang relawan PMI dan 5 orang relawan lainnya menjadi korban keganasan awan panas. Tutur, nama relawan PMI itu, tewas terkena awan panas ketika akan menjemput Mbah Maridjan dari rumahnya di lereng Merapi. Luar biasa keberanian mereka, walaupun harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, nyawa mereka sendiri. Dan juga peristiwa yang sangat menyedihkan yaitu jatuhnya pesawat POLRI bersama 5 anggota POLRI setelah memberikan bantuan kepada korban banjir di Wasior. Perjuangan dan pengabdian mereka menurut saya sangat luar biasa...


Masih banyak lagi relawan-relawan lainnya yang membantu dengan cara yang lain. Salah satunya
Bapak Mulyadi warga Desa Winong, Kec. Boyolali Kota, Jawa Tengah. Ia rela berbagi ruang dengan para pengungsi. Ia menyediakan rumahnya yang ”hanya” memiliki empat kamar untuk sekitar 125 pengungsi bencana Merapi asal Kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali. Luar biasa bukan? belum tentu kita akan rela melakukan hal yang sama bila berada di posisi beliau.

Mungkin ada banyak Tutur dan Mulyadi lainnya dan yang tidak terekspose oleh media. Ribuan jumlah mereka. Mereka berdatangan menuju daerah bencana dengan satu tujuan. Menyelamatkan dan memberikan bantuan kepada para korban. Mereka rela menyediakan waktu, tenaga dan bahkan berani mempertaruhkan nyawa demi kemanusiaan.

Apakah mereka melakukan semua itu dengan terpaksa? Saya rasa tidak. Walaupun tidak sedikit pihak yang mencemooh dan menganggap tindakan para relawan dilakukan atas dasar materi. Atau bahkan ada juga yang menganggap tindakan mereka konyol. Tapi bagi saya tidak, apalagi bagi para korban bencana. 

Bagi para korban bencana, mereka adalah dewa penolong, mereka semua adalah pahlawan, pahlawan di tengah bencana. Apakah mereka layak mendapat imbalan untuk semua itu? Ya, mereka pantas mendapatkan imbalan yang lebih bernilai dari hanya sekedar materi. Mereka pantas mendapatkan pahala yang tak ternilai harganya dan Insyaallah mereka yang gugur menjadi para syuhada penghuni Surga.


Sanggupkah kita bertindak seperti mereka? Belum tentu...Tapi paling tidak kita bisa belajar meneladani sikap peduli, rela berkorban dan jiwa kepahlawanan mereka. Semoga..*Tulisan ini ikut serta dalam kuis makna hari pahlawan ditengah bencana

2 November 2010

Uang Jajan untuk Merapi

Pulang kantor, Harsya menghampiri dan berkata :
"Bun, tadi Acha nggak jadi jajan, karena teman-teman menyumbang untuk Merapi. Harsya juga ikut nyumbang.... teman-teman ada yang menyumbang ada yang nggak Bun.... "

Mulianya anakku... ada pilihan untuk menyumbang atau tidak, dia pilih menyumbang. .Terbersit rasa bangga  dan haru di hati. Teringat pagi-pagi sekali sebelum berangkat sekolah dia yang biasanya tidak saya bekali uang jajan, khusus meminta uang jajan kepada saya karena ingin membeli sesuatu. apa saja. yang penting jajan.

" Bun, hari ini Acha jajan ya Bun...teman- teman sering jajan di sekolah, Acha juga mau jajan"kata Harsya pagi ini. Sudah 2 minggu dia seperti ini. Minggu lalu juga khusus minta uang jajan karena ingin membeli minuman kotak di sekolah. Katanya sehari sebelumnya dia mencoba minuman milik temannya yang dibeli di kantin sekolah.

Harsya jarang sekali jajan, Saya memang tidak memberinya uang jajan khusus karena khawatir dengan jajanan yang ada di sekolah. Walaupun di kantin sekolahnya tidak banyak jajanan aneh-aneh dan saya juga melarangnya jajan di luar halaman sekolah. Apalagi dia sudah membawa bekal setiap hari. Hanya kadang-kadang saja Harsya jajan, biasanya bila saya menjemputnya. Melihat wajah saya nongol di sekolah untuk menjemputnya langsung terdengar suara teriakannya:" Buuun...jajaaan...!" ya, biasanya hari Sabtu, karena setiap hari Sabtu sayalah yang mengantar dan menjemputnya sekolah. Dan jajanan yang dia pilih paling hanya 2 bungkus permen atau coklat. termasuk untuk Syifa. Tidak lebih dari seribu atau dua ribu rupiah.

Hari ini Harsya saya berikan uang 1 lembar dua ribu rupiah dan Syifa sudah pesan dibelikan juga sesuatu, apapun itu :-) Dan ternyata uang jajan itu dia relakan untuk Merapi. Bangganya saya....Apalagi katanya dari seluruh teman sekelasnya hanya 8 orang yang menyumbang. Entahlah mungkin teman-temannya yang lain juga tidak diberi uang jajan oleh orangtuanya. Kalau sumbangannya diedarkan kemarin juga mungkin Harsya termasuk yang tidak menyumbang karena memang tidak memegang uang.

Ditengah rasa bangga dan haru saya tiba-tiba...

"Bun...Tapi nanti beliin kaset PS ya... kan tadi nggak jadi jajan?

Hahaha.... ! saya baru sadar kalau Harsya memang baru 7 tahun. Mungkin dia belum sepenuhnya mengerti apa tujuan dia menyumbang. Waktu saya tanyakan Acha meyumbang untuk Merapi karena apa, karena kasian ya? jawabnya: "Acha kira kalau Acha nyumbang , bunda mau beliin kaset PS buat Acha" (dari kemarin dia merengek-rengek minta kaset PS yang baru dibelinya hari sabtu lalu diganti, karena baru sekali digunakan sudah rusak, tapi tidak saya ijinkan).

"Jadi Acha tadi  nyumbang bukan karena kasian? tapi karena minta dibeliin  kaset PS? "

Jawabnya: "Nggak tau. Eh, karena dua-duanya Bun... iya karena dua-duanya"

"Bun... kalau uangnya 3 lembar itu berapa Bun? 
"Tergantung Cha... kalau seribuan berarti tiga  ribu, kalau dua ribuan berarti enam ribu.. kenapa?"
"Tadi Acha liat Ardi uangnya 3 lembar, jadi abis nyumbang Ardi juga jajan. Rizki juga Bun, abis nyumbang Rizki juga Acha liat jajan.."

Gubraaak...hehe. maaf ya Cha, Bunda cuma kasih Harsya satu lembar uang dua ribuan...Jadi nggak ada sisa untuk jajan. Tapi Bunda makin bangga sama Harsya. Walaupun cuma punya 1 lembar, Harsya relakan satu lembar itu untuk menyumbang. Walaupun konsekuensinya Harsya nggk bisa jajan. 
I'm so proud of you!