22 September 2010

Ramadhan yang sedih...

Ramadhan tahun ini bagi saya sangat berbeda..

Ramadhan tahun ini kami lewati dengan perasaan tak menentu.. Rencana melewatkan lebaran Idul Fitri di kampung halaman tercinta Banda Aceh pun batal.

Biasanya setiap kali memasuki bulan Ramadhan, malam taraweh pertama menjadi moment yang tak ingin dilewatkan oleh siapapun, termasuk saya dan suami.. Tapi malam itu kami lewatkan dengan perjalanan tergopoh-gopoh dari Mount Elizabeth Hospital menuju Changi airport di Singapore untuk mengejar flight terakhir ke Jakarta.

Kami tiba di Cengkareng pukul 11 malam dan baru sampai di rumah kakak ipar saya di daerah cibubur sekitar jam 1 pagi. Saya sendiri baru bisa tidur sejam setelahnya karena harus memilah-milah isi koper lagi, besok saya langsung mengikuti training selama 3 hari di Jakarta.

11 Agustus 2010. Sahur pertama…hmm...saya teringat dengan Harsya..
Rencananya tahun ini Harsya mulai puasa full sehari penuh. Kasihan membayangkan Harsya harus merasakan sahur pertamanya di Ramadhan tahun ini tanpa ayah dan bunda.

Selepas sahur, suami langsung menuju Cengkareng utk perjalanan ke Lampung dgn flight pagi, sedangkan saya langsung menuju kantor untuk training. Tidur hanya 2 jam membuat mata saya susah sekali diajak bekerja sama. Capek dan lelah…. Bukan hanya fisik, terutama hati. Terbayang hari2 ke depan yang akan kami lewati.. .. Ya Allah..… mampukah kami….

Sahur kedua, ketiga dan ke empat saya lewatkan di hotel...
Ramadhan hari ke empat baru saya bisa merasakan berbuka bersama keluarga di Lampung. Ah..senangnya, walaupun masih di rumah mertua, karena Harsya dan Syifa selama ditinggal ke Singapore kami titipkan di rumah neneknya. Kami sengaja tidak buru-buru pulang ke rumah sendiri, agar bisa sekaligus menemani mama mertua, karena baru Ramadhan tahun ini kami tidak berpuasa bersama mama karena sudah menempati rumah sendiri akhir tahun lalu.

Minggu ke dua Ramadhan.
Alhamdulilah.. akhirnya bisa merasakan sahur dan berbuka di rumah. Ramadhan kali ini Harsya sudah full puasa sampai magrib. Harsya puasanya pinter, tidak pernah merengek. Tapi suka usil minta disuapin kue atau makanan sama Syifa. Sengaja menunggu reaksi bunda negur, lalu ketawa terbahak-bahak. Pernah juga jam 4 sore Harsya tiba-tiba azan serius banget…. saya udah tahu ini pasti ada maksudnya. Selesai azan Harsya lari berteriak ‘bukaaaa…….!’ Hahahaha…. Tingkah lucu Harsya bikin stress bunda hilang.

Minggu ketiga Ramadhan.
Ah...kami sudah harus berangkat ke Singapore lagi. Menjalankan ibadah puasa di negeri orang memang tidak enak, apalagi di Singapore kami tidak pernah mendengar suara adzan sama sekali. Suasana Ramadhan sama sekali tidak terasa. Saya sahur sendirian hanya dengan makanan instant dan roti saja. Untunglah dekat tempat kami menginap ada sebuah mesjid besar yang bagus. Namanya masjid Al-Falah.

Saat berbuka disana disuguhkan kurma, buah-buahan, susu, dan makanan lengkap (waktu itu nasi briyani lengkap dengan daging kare).
Nikmat sekali rasanya berbuka bersama dengan saudara-saudara seiman. Walaupun tidak saling mengenal kami makan nasi sama-sama dari nampan besar. berbagi lauk bersama. Sungguh suasana yang luar biasa.


 Walaupun ingin, sayang tidak setiap hari saya sempat berbuka disana. Malah selama seminggu di Singapore saya hanya sempat berbuka 1 kali saja disana.

Di Singapore jadwal sholat taraweh cukup malam, karena sholat isya saja baru dimulai sekitar jam 20.15, kalau dibanding Lampung dan Jakarta cukup malam juga. Dan karena kondisi tidak memungkinkan, saya tidak sholat taraweh di masjid, saya hanya sholat taraweh di apartment. Hari terakhir disana saya sudah niat akan bela-belain sholat taraweh di masjid Al Falah, sayang saya malah berhalangan. Syukurlah 10 hari terakhir ramadhan bisa kami lewatkan di tanah air bersama keluarga.

Sepuluh hari terakhir Ramadhan 
Tak sekalipun saya sempat sholat taraweh di mushola dekat rumah. Kondisi suami yang kurang sehat tidak memungkinkan. Kami hanya melaksanakan sholat taraweh dirumah saja. Sedih rasanya melihat orang berbondong-bondong melaksanakan taraweh. Suami yang biasanya rajin menjalankan sholat magrib dan isya di mushola Al-Manar dekat rumah, terpaksa kali ini tidak bisa ikut taraweh disana. Padahal saya yakin dia sangat merindukan mushola itu.

Selain ibadah yang kami rasa tidak sempurna, dan batalnya lebaran di Banda Aceh tahun ini, ada alasan lain kenapa Ramadhan kali ini menjadi Ramadhan yang sedih. Ramadhan kali ini kami lewatkan dengan penuh rasa cemas dan prihatin. Masih terngiang-ngiang vonis dokter di Singapura yang dgn tegas menusuk jantung kami. Belum lagi angka-angka belasan ribu dollar yang harus kami keluarkan untuk sekali pengobatan. Ya Allah….mampukah kami…

Akhir tahun lalu saat kami pindah ke rumah milik kami sendiri ini, saya sudah berangan-angan untuk menatanya dengan beberapa perabot baru yang rencananya akan saya wujudkan pada lebaran tahun ini. Namun sayangnya keinginan itu harus saya lupakan dulu untuk saat ini... Ada prioritas lain yang harus saya dahulukan. Saya yang sejak kecil terbiasa hidup berkecukupan, sekarang harus merasakan bagaimana rasanya hidup hemat. Harus banyak bersabar dan menahan diri. Kalau biasanya saya jor-joran membeli kue-kue kering dgn harga mahal setoplesnya untuk lebaran, kali ini cukup 3 macam dengan harga yang murah saja. Saya harus belajar prihatin, ini semua cobaan buat kami…

Ingin rasanya mengeluh...tapi banyak orang diluar sana yang saya yakin nasibnya jauh lebih buruk dari kami. Saya harus belajar lebih banyak melihat kebawah, bukan ke atas.

Dan anehnya setelah mengalami semua ini, saya baru menyadari bahwa benda-benda materi itu ternyata tidaklah terlalu penting. Memang sangat manusiawi setiap manusia tentu ingin tampil lebih, terasa menyenangkan kalau semuanya serba baru, serba wah, ... Tapi apakah kemewahan itu begitu penting?

Setelah dipikir-pikir sebenarnya saya memang tidak perlu bermewah-mewah. Memakai sepatu lama yang masih layak pun tidak menjadi masalah. Bahkan saya baru menyadari masih ada beberapa pasang sepatu yang jarang sekali saya gunakan sejak dibeli. Perabotan rumah setelah saya tata ternyata masih cukup indah dan menarik. Kue-kue lebaran yang berlimpah biasanya masih tersisa banyak setelah lebaran berlalu. Saya yang memang sengaja tidak membeli kue-kue basah karena harganya yang mahal, alhamdulilah dapat kiriman kue dari rekan kerja yang baik hati, dan beberapa lagi dari klien suami. Saya jadi menyadari kadang-kadang kita manusia memang lebih sering mengutamakan hawa nafsu. Padahal apa yang kita miliki sekarang masih cukup bagus dan layak…

Ya Allah... dibalik kesedihan Ramadhan yang kami rasakan ini saya hanya bisa berusaha bersyukur, semoga tersimpan banyak makna dan hikmah yang Engkau tunjukkan bagi kami. Amiin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

buat yang udah baca, kirim komentar anda disini ya...jangan lupa tuliskan nama :-)